Kita semua paham bahwa
“mahasiswa” merupakan peserta didik dengan bekal pedoman Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Sebagai pengejawantahan implikasi Tri Dharma dalam lingkungan akademik,
mahasiswa sering menafsirkannya sebagai suatu rangkaian belaka. Dari mulai masa
perkenalan perguruan tinggi (adaptasi awal semester), masa perkuliahan dan
rutinitas organisasi (semester muda sampai pertengahan), hingga masa manajemen
impresi personal (KKN, hingga skripsi). Dengan adanya paradigma atas etape rangkaian
tersebut, maka terjadilah resiliensi akademik sebagai efek yang tidak bisa
dihindari oleh semua mahasiswa tanpa terkecuali.
Dari mulai
bulan maret 2020, di masa pagebluk (epidemi) hingga sekarang, resiliensi
akademik menjadi sangat signifikan serta menjadi perhatian khusus bagi banyak
sivitas akademika. Walaupun sebenarnya resiliensi akademik bisa dikatakan
sebagai jawaban atas efek domino yang terjadi dari tahun ke tahun, akibat
kebijakan-kebijakan perubahan kurikulum, maupun internal kampus yang kadang
bias dan dikatakan kurang memadai. Resiliensi akademik merupakan sebuah konsep
yang semakin banyak diteliti secara global, seiring dengan meningkatnya
kebutuhan untuk merancang program pembentukan resiliensi akademik (Hart dan
Heaver, 2015). Dari pernyataan Hart dan Heaver, kita bisa melihat bahwa
resiliensi akademik juga dikategorikan sebagai salah satu acuan pembuatan skema
pembelajaran (program).
Resiliensi
akademik adalah kemampuan mahasiswa untuk bertahan pada kondisi yang sulit,
bangkit kembali dari keterpurukan, mengatasi kesulitan, dan beradaptasi secara
positif terhadap tekanan dan tuntutan akademik (Paundra dan Endang, 2016). Kita
sadar, bahwa kemampuan kapabilitas setiap mahasiswa berbeda. Ingat ya,
“berbeda”, bukan tinggi dan rendah, tapi “masing-masing”. Sehingga resiliensi
akademik di masa pagebluk seperti sekarang menjadi suatu gaya penyesuaian
tiap-tiap mahasiswa, dengan latar belakang fase tingkat semester yang berbeda.
Tingkatan fase semester, saya pilih sebagai pengklasifikasian atas
kecenderungan mahasiswa terhadap gaya resiliensi pada masa pagebluk, di mana
digitalisasi menjadi hal yang diutamakan dalam komunikasi pada masa perkuliahan
saat ini.
Mahasiswa Baru (Maba) pada masa
pagebluk.
Transisi
menuju orientasi dunia perguruan tinggi terjadi secara tatap maya, yang
mengakibatkan beberapa penyesuaian terkendala, bahkan menjadikan timbulnya
krisis identitas atas peran maupun zona perguruan tinggi. Menurut Clark (2005),
bahwa kesuksesan mahasiswa tingkat awal dilihat dari keberhasilannya menjalani
masa transisi. Proses transisi peran ini dipengaruhi oleh beberapa hal.
Diantaranya adalah pengalaman mereka ketika memasuki perguruan tinggi, seperti
interaksi yang terjadi antara individu dengan dosen, staf, dan teman sebayanya.
Selain itu,
hubungan yang mereka jalani dengan orang lain di luar lingkungan perguruan
tingginya, seperti orang tua, teman sebaya, dan organisasi di luar kampus juga
berperan dalam proses transisi peran ini (Tinto, 1993; Weidman, 1989; dalam
Clark, 2005). Sebagai mahasiswa tingkat awal, seorang individu akan menghadapi
berbagai tuntutan, yaitu tuntutan tugas perkembangan, proses transisi peran dan
tuntutan akademik (Sokol, 2009; Liebert, 2003 dan Gately, 2005 dalam Hernandez,
2007; Clark, 2005).
Dengan
demikian, resiliensi yang harus dikuasai mahasiswa baru sebagai kemampuan
beradaptasi dalam situasi apapun, baik pagebluk maupun setelahnya, ditambah
dengan masa transisi menciptakan beban psikologis tersendiri. Hal ini bisa
berpotensi terjadinya krisis identitas, culture shock, dan
penyesuaian ekstra ketika situasi normal. Maka dari itu, mahasiswa tingkat awal
harus menyeimbangkan kecerdasan sosialnya dengan pengendalian informasi, agar
proses resiliensi akademik pada mahasiswa tahun pertama menjadi lebih terarah.
Penekanan terhadap eksplorasi lingkungan akademik juga harus beriringan dengan
dimensi transformatif.
Mahasiswa pertengahan semester
(semester muda, antara semester 3-5)
Pada masa ini,
tingkat relisiensi akademik tiap-tiap mahasiswa menunjukan kualitas yang
bervariasi berdasarkan background yang terbentuk selama proses
perkuliahan, berkaitan dengan karakter, kapasitas, dan kompetensi tiap-tiap
individu. Artinya, rentang terhadap penilaian dominasi kecenderungan lebih
berkurang. Gaya penyesuaian mahasiswa tingkat pertengahan semester dalam
menghadapi situasi pagebluk memiliki variasi aspek yang hampir sama di masa
sebelum pagebluk.
Hal ini
dikarenakan mahasiswa tingkat ini telah merasakan sensasional hormon adrenalin
selama perkuliahan maupun berproses dalam akademik dan aktivitasnya sebagai
seorang mahasiswa. Aspek yang variatif ini, bisa dijadikan sebagai skala
resiliensi akademik, seperti yang diklasifikasikan oleh Reivich dan Shatte
(2002), yaitu pengendalian emosi, kontrol terhadap impuls, optimisme, kemampuan
menganalisis masalah, empati, efikasi diri, dan pencapaiannya. Kemudian selain
aspek tersebut, ada pula faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi resiliensi akademik menurut Grotberg (dalam Desmita, 2011) adalah
kepercayaan, otonomi, inisiatif, industri, dan identitas. Maka dari itu,
sebenarnya mahasiswa pada tingkat ini dikategorikan mampu dalam menghadapi
situasi yang terjadi, hanya saja kendala utamanya adalah kejenuhan terhadap
pola maupun desain akademis yang terkesan monoton. Reaktif dan proaktif
terhadap keadaan adalah kunci untuk bisa mengatasi kejenuhan yang terjadi pada
fase ini.
Mahasiswa semester akhir (KKN,
tugas akhir, dan skripsi)
Penentuan atas
gelar akademisi adalah sebuah pertaruhan yang harus dilalui setiap mahasiswa.
Tingkatan stresor psikososial yang meningkat, dialami para mahasiswa tahap ini.
Pasalnya, setiap individu harus mampu menerapkan capaian atas resiliensi
akademik secara tepat dan maksimal. Terjadinya pagebluk disaat menjadi
mahasiswa semester akhir bukan sebagai alasan untuk menyelesaikan segala
tuntutan akademik yang berlaku.
Lazarus (1993,
dalam Tugade dan Fredricson, 2004) mendefinisikan resiliensi sebagai koping
efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan. Sementara menurut
Richardson (2002), resiliensi adalah proses koping terhadap stresor, kesulitan,
perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif. Jadi
resiliensi pada mahasiswa semester akhir dikatakan sebagai manifestasi
bagaimana ketangguhan dan kemampuan seseorang untuk menciptakan pikiran positif
dalam situasi yang ekstrem. Manajemen impresi personal juga akan muncul pada
mahasiswa semester akhir sebagai bekal menghadapi dunia bermasyarakat setelah
menyandang predikat kelulusan. Resiliensi akademik setelahnya bisa digunakan
juga sebagai bekal berbaur dengan elemen masyarakat dan penerimaan peranannya
di masyarakat.
Dari uraian
ketiga fase, kita bisa melihat ruang lingkup gaya penyesuaian resiliensi
akademik di masa pagebluk. Menurut Connor dan Davidson (2003), resiliensi
individu dibentuk oleh lima faktor, yaitu kompetensi personal, standar yang
tinggi dan kegigihan, keyakinan terhadap insting, toleransi terhadap efek
negatif, dan efek menguatkan dari stres, penerimaan positif terhadap perubahan
dan hubungan lekat dengan orang lain, kontrol, serta pengaruh spiritual. Dengan
gerakan perubahan berbagai penyesuaian yang dinamis, resiliensi akademik ini
menjadi acuan atas kesanggupan individu dalam mengelola berbagai situasi.
Penulis: Muhammad Baqo
Editor: Reza Firnanto
Komentar
Posting Komentar