Penulis: Vena Lidya Khairunissa
Pandemi Covid-19 belum usai. Masyarakat tengah tertatih-tatih berjuang demi menyambung hidup. Pengorbanan dan tangisan menyertai. Kemanusiaan tengah diuji. Pastinya, seorang jurnalis tidak boleh diam melihat realitas yang ada.
Pada akhirnya, kerja jurnalisme
adalah kerja kemanusiaan. Produk jurnalisme tidak lagi selesai pada penerbitan
saja, tetapi itu malah menjadi awal dari cerita baru tentang manusia. Dua kalimat tersebut merupakan penutup
tulisan Andreas Maryoto berjudul “Jurnalisme
adalah Kerja Kemanusiaan” (Kompas,
28/06/2021). Sejalan dengan pendapat
Andreas Maryoto, bagi saya peran
jurnalisme bukan sekadar persoalaan teknis mencari dan menulis berita,
namun juga membentuk makna. Melalui produk jurnalisme yang terjamin
kebenarannya, dapat mendorong orang-orang untuk berkreasi, berinovasi, bahkan
membuat perubahan-perubahan besar dunia.
Sejarah mencatat wartawan Indonesia turut andil memperjuangkan
Indonesia merdeka. Wartawan berperan sebagai aktivis pers dengan menjalankan
tugas-tugas pemberitaan dan penerangan untuk membangkitkan kesadaran nasional
di masa pergerakan. Wartawan juga
berperan sebagai aktivis politik dengan terlibat langsung dalam kegiatan
perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Bahkan setelah Indonesia merdeka,
wartawan juga turut andil mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 9 Februari
1946 lahir organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menjadi wadah
perjuangan pers Indonesia. Tujuan lahirnya PWI kala itu tidak lain untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan menentang kembalinya
kolonialisme. Kolonialisme telah memberangus hak-hak rakyat Indonesia. Dengan
rasa kemanusiaan dan persatuan wartawan Indonesia, PWI bertekad untuk membela
kedaulatan, kehormatan, serta integritas bangsa dan negara.
Perjuangan pers dalam mengembangkan produk jurnalisme
yang berorientasi kemanusiaan terus berlanjut. Pada tanggal 28 Juni 1965 terbit
perdana koran Kompas yang didirikan dan dirintis oleh Jakob Oetama. Jakob
Oetama dalam tulisan-tulisannya mengembangkan peradaban kemanusiaan.
Kemanusiaan yang dibela tentu bukan sembarang kemanusiaan. Kemanusiaannya
ditandai dengan keberpihakan terhadap kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir,
dan difabel (KLMTD). Jakoeb Oetama dalam membela kemanusiaan juga dikenal
dengan keluwesannya mengembangkan semangat kebangsaan melalui jurnalisme damai.
Bagaikan pendulum yang bergerak secara teratur, pers harus seimbang dalam mewartakan
upaya pemerintah menyejahterakan rakyatnya dan sekaligus memberikan kontrol
objektif. Dengan demikian, spirit kemanusiaan serta kebangsaan dapat berjalan
beriringan.
Spirit
kemanusiaan jurnalisme juga diperjuangkan pada kalangan mahasiswa. Tercatat
pada tahun 1955 lahir Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang menjadi wadah
konsolidasi antar pers mahasiswa. Perjuangan pers mahasiswa tidak berhenti
sampai di situ. Tahun 1998 dengan spirit kemanusiaan, pers mahasiswa turut
andil dalam menegakkan keadilan dan menggulingkan kekuasaan yang otoriter.
Spirit kemanusiaan jurnalisme yang telah diperjuangkan
semenjak masa pergerkan dalam mewujudkan Indonesia merdeka tentu harus
dipertahankan. Membicarakan kemanusiaan tidak lepas dari rasa kepekaan terhadap
dinamika sosial. Solidaritas sesama dan semesta menjadi perpaduaan yang epik
dalam membela masyarakat kecil yang menderita, tertindas, dan dilupakan.
Pandemi
Covid-19 dan Spirit Kemanusiaan Jurnalisme
Kini dunia terkhusus Indonesia sedang tidak baik-baik
saja. Pandemi Covid-19 masih menghantui. Menurut akun Instagram @pandemictalks, tertanggal 30 Juli 2021
meskipun kasus aktif Indonesia turun 5.141 kasus aktif, namun masih ada 549.343
orang Indonesia yang sakit akibat terkena virus Covid-19. Pandemi memberi
dampak buruk terhadap seluruh aspek kehidupan. Masyarakat tengah kelimpungan
akibat turunnya imunitas serta pendapatan. Ruang gerak untuk mencari
penghidupan juga dibatasi. Dilansir dari Liputan6.com
tertanggal 29 Juli 2021, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) –
Bhima Yudhistira – selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM) darurat pertama, omzet sektor yang sensitif terhadap penurunan mobilitas
dapat mencapai 80-90 persen.
Peran serta masyarakat sekitar untuk mendukung warga yang
melakukan isolasi juga masih rendah. Stigma negatif terhadap penyintas Covid-19
masih melekat di masyarakat. Hal ini menyebabkan para penyintas Covid-19
memilih untuk diam dan menutupi keadaannya. Bahkan dukungan sosial ekonomi
hingga bantuan moril dari masyarakat sekitar masih kurang. Tidak mengherankan
apabila terdapat 2.313 korban jiwa akibat isolasi mandiri (Kompas.com, 29/07/2021).
Melihat realitas betapa menderitanya masyarakat akibat
pandemi Covid-19, mulai dari kondisi kesehatan yang memburuk hingga turunnya
pendapatan, jurnalisme kemanusiaan berperan
besar dalam memulihkan kondisi. Menurut Bernard C. Cohen, seorang jurnalis
sebagai mata dan telinga masyarakat tidak sekadar menyampaikan informasi (informer), tetapi juga penafsir (interpreter). Peran penafsir menjadikan
jurnalisme yang berkembang tidak hanya sekadar menyajikan fakta berdasarkan
urutan kejadian secara linier-objektif, hanya angka dan data (reportase
faktual). Seorang jurnalis juga harus mengungkap latar belakang, mencari
variabel-variabelnya, dan melakukan interpretasi berdasarkan fakta serta latar
belakang yang saling berkelindan. Derita yang dialami rakyat selama pandemi
Covid-19 mengharuskan jurnalis memiliki kepekaan terhadap penderitaan sesama
yang menjadi ciri khas humanisme, memahami pangkal permasalahannya, dan
kemudian melakukan interpretasi melalui produk jurnalisme yang disajikan.
Interpretasi tersebut tentunya harus berpegang terhadap spirit kemanusiaan.
Sebagai kontrol objektif pemerintah, jurnalis harus
memantau kinerja pemerintah. Jangan sampai ada celah yang mengakibatkan
masyarakat semakin menderita. Laporan utama majalah Tempo edisi 21 Desember
2020 mampu menguak kasus korupsi bantuan sosial atau bansos. Bansos yang
notabene menjadi harapan masyarakat di tengah derita pandemi justru dikorupsi
oleh pejabat negara. Laporan utama berjudul “Upeti Bansos untuk Tim Banteng” itu mampu menyajikan bukti fee yang diterima oleh tim khusus mantan
Menteri Sosial Juliari Batubara dari perusahaan yang ditunjuk untuk mengadakan
bantuan sosial bahan kebutuhan pokok. Menurut laporan utama tersebut, paket
bantuan sosial itu disebut-sebut dikuasi sejumlah politikus dan pejabat negara.
Produk jurnalisme dengan bahasa yang mudah dipahami
diperlukan untuk mengedukasi masyarakat. Melalui warta yang disampaikan
diharapkan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk kelompok
rentan. Harapannya masyarakat dapat tenang dan cerdas menghadapi persoalan
pandemi Covid-19. Mengingat persoalan pandemi bukan hanya terjadi dari internal
masyarakat, namun juga terjadi di kalangan pemerintah, seperti kasus suap dana
bansos dan pemalsuan surat tes swab antigen serta PCR yang terjadi di Jawa
Timur. Pemalsuan surat tes swab antigen dan PCR apabila diabaikan tentu dapat
memperburuk keadaan. Selain itu, melalui
produk jurnalisme dengan spirit kemanusiaan pula diharapkan mampu menyulut
masyarakat menengah hingga atas untuk bersatu membangun gerakan berbagi serta
membantu sesama.
Tentunya saat menyajikan produk jurnalisme di masa
Pandemi Covid-19 ini tetap harus memperhatikan etika media. Sajian berita hoax pastinya jauh dari kriteria
jurnalisme kemanusiaan. Menurut Vera Vlesia dalam tulisannya yang berjudul “Pentingnya Pers di tengah Pandemi” (Belitungtimurkab.go.id/09/02/2021)
peliputan diperlukan prinsip kehati-hatian dengan menjalankan protokol
kesehatan. Selain itu, media juga harus dengan jeli menangkap keresahan
masyarakat dengan penyajian makna berita dan kemudian menampilkan informasi
resminya di media massa.
Problem
Tidak dapat
dipungkiri bahwa membeludaknya informasi terkait pandemi Covid-19 menimbulkan
keresahan masyarakat. Mulai dari beredarnya berita yang mewartakan kematian
akibat virus Covid-19, berita hoax, hingga
konspirasi. Akibatnya, ajakan untuk tidak membaca berita seputar pandemi
Covid-19 pun beredar.
Ahmad Arif dalam tulisannya di harian Kompas edisi 8 Juli 2021 menyampaikan
terkait bahaya “toxic positivity” di
masa pandemi Covid-19. Pesan berisi ajakan untuk tidak membaca dan menyebarkan
informasi tentang Covid-19 menyebar luas di media sosial. Bahkan pejabat pusat
dan daerah juga menyampaikan pesan serupa dengan alasan menyebarkan informasi
tentang Covid-19 dapat memicu kepanikan serta menurunkan imun. Menurut Ahmad
Arif, hanya melihat kesembuhan dan menutup diri dari risiko Covid-19 justru
akan menciptakan toxic positivity.
Menganggap seakan dunia sedan baik-baik saja, padahal realitas yang terjadi
justru sebaliknya.
Menutup mata serta telinga dari berita Covid-19 bukanlah
tindakan yang tepat untuk menghadapi pandemi ini. Masyarakat membutuhkan produk
jurnalisme yang dapat menggugah semangat bangkit dari pandemi Covid-19. Problem
beredarnya hoax terkait pandemi
Covid-19, seperti pernyataan dokter Louis Owien bahwa kematian Covid-19 tidak
disebabkan oleh virus melainkan disebabkan oleh interaksi obat, harus dilawan
dengan produk jurnalisme yang mencerahkan. Bukan malah memberi anjuran untuk
menutup diri dari berita pandemi Covid-19. Etika media juga diperlukan agar
produk jurnalisme yang dihasilkan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih
baik, bukan semakin memperburuk keadaan.
Spirit jurnalisme kemanusiaan dengan memperhatikan etika
media sangat diperlukan pada masa pendemi Covid-19 ini. Seperti yang telah
disampaikan Andreas Maryoto di atas, bahwa produk jurnalisme adalah awal baru
cerita manusia. Dengan produk jurnalisme yang berkualitas dan berprinsip
kemanusiaan diharapkan mampu menjadi awal baru selepas keterpurukan pandemi
Covid-19. Harapannya, jurnalisme kemanusiaan mampu mengedukasi, mempengaruhi,
dan menyemangati masyarakat untuk keluar dari sengkarut pandemi Covid-19.
Komentar
Posting Komentar